A. Hadits Sentral
- حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ
عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ
بن دينار عَنْ سَهْلِ
بْنِ سَعْدٍ
أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال لرجل تجوج
ولو بخاتم من حديد
(رواه بخاري)
Artinya:
“Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi’ dari sufyan dari Abi Hazim bin Dinar
dari Sahal bin Said as-Sa’idi bahwa nabi berkata:” hendaklah seseorang menikah
meskipun (hanya dengan mahar )sebuah cicin yang terbuat dari besi”(HR bukhori)
mufrodat
رجل : laki-laki
تجوج : menikah
بخاتم من حديد : cincin dari besi
B. Hadits-hadist Pendukung
باب جوازالتزويج علىالقليل والكثيرواستحباب القصدفيه *
1-عن عامربن ربيعه:أنّ
امراةمن بنى فُزاَرةَ تَزَوّجت
على نعلين,فقال رسول
الله صلى الله عليه
وسلم:اََرَضيتُ من نفسِكِ ومالِكِ
بنعلَين؟قالت:نعم,فاجازَهُ"(رواه
احمدوابن ماجه والترمذىوصححه)
2-وعن جابر:"ان رسول الله
صلعم قال :لوانّ رجلااعطى
امراةً صَداقامِلْءَيديه طعاماكانت له حلالا"(رواه
احمدوابوداودبمعناه)
وهذاالحديث في اسناده موسى
بن مسلم وهوضعيف,هكذافي
مختصرالترمذي
3-وعن عائشة:"ان رسول الله
صلعم قال:اِنّ اعظَمَ
النكاحِ بَرَكةًايسرُه مُؤنةً"(رواه احمد,اخرجه
ايضاالطبران
في الاوسط بلفظ:"اخف
النساءصداقااعظمهن بركة)"وفي اسناده الحرث
بن شبل وهوضعيف
4-وعن ابي العجفاءقال :"سمعت
عمريقول:لاتُغلُوا صُدُقَ النساءفإنهالوكانت مُكرمةٌفي
الدنيا أوتقوى في الاخرة
كان اَوْلاكم بهاالنبي صلعم,مااصدَقَ رسول
الله امرأةً من نسائِه
ولااَصْدَقَتْ امرأةً من بناتِه
اكثَرَمن ثِنْتَي عشرةاَوْقِيَةً"(رواه الخمسةوصححه
الترمذي وابن حبان الحاكم)،وابوالعجفاءاسمه هرمز بن نسيب،قال
يحيى بن معين :بصري
ثقة.وقال البخاري:في
حديثه نظر.وقال ابواحمدالكرابيسي:حديثه ليس بالقائم.
جعل تعليم القران صداقا
1-عن ابي النعمان الأزي
قال:" زَوَّجَ رسول الله
صلعم إمراة على سورةٍٍ
من القران ثم قال
:لايكون لأحد بعدَكِ مهرا"(رواه سعيدفي سننه
وهومرسل)
من تزوج ولم يسم
صداقا
1-عن علقمة قال:"ل
أُنِيَ عبدالله في إمرءةٍتَزَوَّجَهارجلٌ
ثم مات عنهاولم يُفْرَض
لهاصَداقاولم يكُنْ دَخَلَ بها،قال:فاختلفواإليه فقال:أرى لهامثلَ
مهرِنسائِهاولهاالميراثُ وعليهاالعدّة ُ،فشَهِدَ مَعْقَلُ بن سنانٍ الاشجعي
ان النبي صلعم قضى
في بَْروَعٍ ابنةِواشقٍٍ ماقضى"(رواه الخمسةوصححه الترمذي)بمثل
تقدمة شيئ من المهر
قبل الدخول والرخصة في
تركه
1-عن ابن عباس :"قال:لما تَزَوَّجَ عَلِيٌّ
فاطمة قال له رسول
الله :أَعْطِهاشيئا،قال:ماعندي شيئ ،قال
اين دِ رْعُكَ الْحُطَمِيَّة
ُ؟"(رواه أبو داودوالسائي).وفي رواية :"أن
عَلِيًّا لماتزوج فاطمةأرادان يدخل
بهافمنعه رسول الله حتى
يعطيهاشيئا ،فقال يارسول الله
ليس لي شيئ ،فقال
له :أعطهادرعك الحطمية ،فأعطاها درعه
ثم دخل بها"(رواه
ابو داود،وصححه الحاكم وسكت عنه
ابوداود والمنذري)
2-وعن عائشة قالت:"أمرني
رسول الله أن أدخل
إمرءة على زوجهاقبل ان
يعطيهاشيئا"(رواه أبوداودوابن ماجه،سكت
عنه ابوداود والمنذري)ٍ
C. Status hadist
a. takhrij hadist
Untuk melihat derajat kesahihan hadits diperlukan langkah-langkah yang
sistematis yaitu mulai dari ketersambungan sanad, keadilan dan kedhabitan rawi,
bebas dari syad dan illah. Selanjutnya untuk menentukan ketersambungan sanad
harus ditemukan biografi dan kredibilitas serta hubungan masing-masing perawi.
Adapun biografi singkat dari perawi hadist sentral diatas adalah sebagai
berikut:
1. Yahya
a. Riwayat : Memiliki nama Lengkap Yahya bin Ja’fa bin A’yunil Azdi al-Bariqi,
Abu Zakaria al-Bukhori al-Biqindi. Dari segi tabaqohnya, ia termasuk kibar
al-akhidin dan tabi’ al-atba. Wafat pada tahun 243 H.
b. Guru : Waki bin Jaroh, Muad bin Hisyam, Marwan bin Muawiyah, Yazid bin
Harun, dll.
c. Murid : al-Bukhori, Abu Ja’far, Husain bin Hasan bin Wadhah, dll.
d. Kredibilitas : Menurut ibnu hajar, Yahya adalah tsiqoh sedangkan menurut
ad-Dzahabi, dia hafidz dan tsiqoh.
2. Waqi
a. Riwayat : Memiliki nama asli Waqi bin al-Jaroh bin Malih ar-Ruasa, Abu
Sufyan al-Kufi. Lahir di Asbahan. Dari segi tabaqohnya dia termasuk shigoru
atbaut tabiin dan wafat pada tahun 196 atau 197 H.
b. Guru : Sufyan bin Uyainah, Sufyan ats Tsauri, Salamah bin Nabit, dll.
c. Murid : Yahya bin Ja’far, Yahya bin Badil Hamid al Hamani, Yahya bin Muin,
dll.
d. Kredibilitas : Dalam kapasitasnya sebagai perowi menurut Ibnu Hajar beliau
tergolong tsiqoh, hafidz, dan ‘abid.
3. Sufyan ats Tsauri
a. Riwayat : Memiliki nama lengkap Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats Tsauri, Abu
Abdilah al-Kufi. Beliau lahir tahun 97 H. dan wafat 161 H. Dari segi tabaqoh
dia merupakan dari golongna kibari atbaut tabiin.
b. Guru : Beliau memiliki guru di antaranya Abi Hazm Salamah bin Dinar, Salam
bin Abi Rohman an-Nakhai, Salamah bin Khahil, dll.
c. Murid : Harun bin Mughiroh ar-Razi, Waqi bin Jaroh, Walid bin Muslim, dll.
d. Kredibilitas : Dalam kapasitasnya sebagai perowi, menurut Ibnu Hajar beliau
tergolong Tsiqoh, hafidz, faqih `abid serta imam hujah dan terkadang mudallas
akan tetapi tetap tsiqoh. Menurut adz- Dzahabi beliau adalah seorang imam yang
tinggi ilmunya dan zuhud, dikatakan oleh ibnu Mubarok bahwa dia tidak mencatat
(menemukan ) yang lebih unggul dari ibnu Hazm
4. Abi Hazm
a. Riwayat : Memiliki nama lengkap Salamah bin Dinar, abu Hazm al-A’roj
al-Afjari at- Tamari al Madani al-Qoshi.Terdapat banyak perbedaan mengenai
tahun wafatnya. Dari segi tabaqoh dia merupakan shigoru tabiin.
b. Guru : Said bin Mutsayyab, Sahal bin Said as Sa’idi, Talhah bin Ubaidillah
dll.
c. Murid : Sufyan ats-Tsauri, Said bin Abi Hilal, Sufyan bin Uyainah, Sulaian
bin bill dll.
d. kredibilitas : Dalam kapasitasnya sebagai perowi,menurut ibnu Hajar beliau
tergolong tsiqoh dan `abid, menurut Adz-Dzahabi beliau merupakan imam, teralim,
bahkan ibnu Huzaimah mengatakan bahwa dia (ibnu Hazm) merupakan perowi yang
tsiqoh dan pada masanya tidak ada orang yang seperti/ menyerupaibeliau.
5. Sahal bin Sa’id
a. Riwayat : Memiliki nama lengkap Sahal bin Said bin Malik bin Kholid
al-Anshori al-Khazraji as-Saidi, abul Abbas. Wafat pada tahun 88 H, dari segi
tabaqoh beliau merupakan golongan shohabi.
b. Guru : Abi ibn Kaab, Ashim bin al `Adi al-Anshari, Umar bin Abbas Marwan bin
Hikam
c. Murid : Abi Hazm dll.
d. kredibilitas : Dalam kapasitasnya sebagai perowi,menurut ibnu Hajar beliau
seorang sahabat,jadi tidak diragukan lagi kealiman dan ketsiqahannya.menurut
Adz-Dzahabi beliau merupakan golongan shahabi.
b. I’tibar hadist
Berdasarkan biografi para perowi terkait hadist pokok seperti dipaparkan
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dari segi sanad hadits diatas
berkesinambungan, tanpa mengalami keterputusan perowi karena memang para perowi
yang meriwayatkan memiliki hubungan guru dan murid. Sehingga hadits diatas
statusnya sahih dari segi sanad.
Adapun dari segi matan mengenai hadits tentang mahar ini, setelah dibandingkan
dengan hadits lain dan kandungan Al Quran terutama surat an-Nisa ayat 4, sangat
sesuai dalam arti tidak bertentangan bahkan sangat masuk akal. Maka hadits
tentang mahar diatas secara matan jelas dapat diterima,
Dengan demikian, hadits pokok tentang mahar diatas dari segi sanad maupun matan
statusnya shahih sehingga dapat diterima dan dijadikan hujjah.
C. Syarh Hadits (hadist sentral)
لرجل تجوج penggalan hadist ini
menunjukan bahwa yang wajib membayar mahar itu adalah calon mempelai laki-laki,
sebagai tanda kesanggupan untuk membiayai atau menghidupi istri dan sebagai
penghormatan bagi istri . hal ini sesuai dengan surat annisa ayat 4 bawasannya
allah secara tegas memerintahkan agar memberikan mahar kepada istri-istri yang
dinikahi, meskipun pada perkembangannya mengenai khitob dari ayat tersebut
ulama tafsir berbeda pendapat, sebagian ulama mengatakan bahwa hkitob ayat
tersebut kepada orang tua dan sebagian lagi mengatakan khitobnya kepada suami.
dan melalui hdist ini jelas bahwa kewajiban membayar mahar itu kepada suami
yang hendak menikah. Jadi melauli hadist ini dapat disimpulkan bahwa mahar
merupakan hak istri dan kewajiban suami
Selanjutnya kedudukan mahar sendiri selain sebagai tanda kesanggupan suami
untuk menghidupi istrinya dan sebagai penghormatan terhadap istri, dalam
perspektif ulama fiqih dikatakan bahwa kedudukan mahar itu sebagai penghalan
siisteri, maka dari itu ketika isteri dicerai sebelum digauli dan jumlah mahar
tidak ditentukan dalam aqad maka suami tidak wajib membayar mahar, Hanya
memberikan mutah. Sesuai dengan QS al-baqarah ayat 236. dan jika mahar sudah
ditentukan dalam aqad akan tetapi suami menceraikannya sebelum digauli maka
suami hanya wajib membayar mahar seperduanya saja. Sesuai dengan QS albaqarah
ayat 237.
ولو بخاتم من حديد
selanjutnya penggalan hadist ini menjelaskan bahwa dalam pernikahan itu
dituntut adanya mahar walau hanya denga sebuah cincin yang terbuat dari besi.
Hal ini mengindikasikan bahwa mahar itu pada dasarnya harus dengan sesuatu yang
bernilai atau bisa dinila dengan uang yang tentunya sesuai dengan kemampuan
suami dan kesepakatan atau persetujuan isteri. Sehingga tidak ada nash yang
mengatur secara pasti tentang ukuran mahar atau jumlah mahar.
Selanjutnya pada perkembangannya memang mahar itu bisa berbentuk materi dan
bukan materi karena nabi sendiri pernah menikahkan seseorang dengan maskawin
hanya hafalan al-quran seperti dijelaskan dalam salah satu hadistnya yang
diriwayatkan oleh imam buhkori . atau dalam riwayatnya said rosululoh bersabda:
عن ابي النعمان الأزي
قال:" زَوَّجَ رسول الله
صلعم إمراة على سورةٍٍ
من القران ثم قال
:لايكون لأحد بعدَكِ مهرا"(رواه سعيدفي سننه
وهومرسل)
akan tetapi kalau kita perhatikan asbabul wurudnya dari hadist-hadist diatas
bawasannya hal itu terjadi bagi laki-laki yang hendak menikah dan memang sudah
pantas menikah akan tetapi tidak memiliki sesuatu yang berbentuk materi untuk
diberikan kepada isteri sebagai mahar walaupun sekedar cincin dari besi.
Sehingga terakhir nabi menyuruhnya dengan hafalan al-quran.
Peristiwa diatas jelas menunjukan bahwa mahar itu pada dasarnya lebih baik
dengan sesuatu yang berbentuk materi yang bisa dinilai dengan uang, sesuai
dengan kedudukannya sebagai tanda kesanggupan suami menghidupi isterinya dan
sebagai penghormatan bagi isteri. Namun perlu diperhatikan juga dari hadist
diatas ada beberapa hal yang penting kita cermati diantaranya:
Adanya kerelaan dan kesederhanaan, dalam arti disesuaikan dengan kemampuan
sisuami tidak ada paksaan jumlah tertentu. Bahkan islam lebih mengedepankan
kesederhanan dalam hal mahar. Hal ini sesuai dengan hadist nabi yang
diriwayatkan oleh imam ahmad sebagai berikut:
(وعن عائشة:"ان رسول الله
صلعم قال:اِنّ اعظَمَ
النكاحِ بَرَكةًايسرُه مُؤنةً"(رواه احمد
Artinya: dari Aisah bawasannya nabi berkata :”sesungguhnya pernikahan yang
paling besar barakahnya adalah yang paling ringan biayanya” (HR ahmad).
Selanjutnya mahar disesuaikan denga kesepakatan kedua calon mempelai. Walaupun
pada dasarnya mahar itu hak isteri yang ketentuannya merupakan otoritas isteri
tapi diperlukan persetujuan suami dan mempertimbangkan kemampuannya sehingga
muncul perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqih dalam jumlah mahar demi
menyesuaikan antara keinginan isteri dan kemampuan suami
D. Kandungan Hukum
Adapun kndungan hukum dari hadist tersebut, kami rinci dengan point-point
sebagai berikut:
a. Hukum Mahar
Pemaknaan kalimat وَلَو خَاتَمٍ مِنْ حَدِيدٍ
dan dikorelasikan dengan surat an-Nisa’ : 4, maka jelaslah bahwa hukum taklifi
dari pemberian mahar itu adalah wajib. Ini terlihat dari nash-nash berikut ini:
يارسول الله ،زوجنيها إن
لم تكن لك بها
حاجة .فقال رسول الله:
"هل عندك من شيئ
تصدقها إياه؟ "فقال ما عندي
إلا إزاري هذا. فقال
رسول الله :" إن اعطيتها إياه
حبست لاإزار لك فالتمس
شيئا" فقال :مااجد شيئا
قال :"فالتمس وَلَو خَاتَمٍ
مِنْ حَدِيدٍ ..... (رواه بخاري)
Artinya: “Ya Rasulullah, bila anda tidak mempunyia keinginan untuk
mengawininya, maka kawinkan saya dengannya”. Nabi berkata: “apa kamu memilki
sesuatu untuk diberikan kepadanya? Ia berkata: saya tidak mempunyai apapun
kecualia sarung ini. Nabi berkata: “Apabila kamu memberikan sarung itu
kepadanya, maka kamu tidak mempunyai apa-apa lagi, maka berikanlah sesuatu yang
lain”. Laki-laki itu berkata “Saya tidak mempunyai apa-apa” Nabi berkata
“Berikanlah (mahar) sekalipun hanya cincin dari besi”
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian
dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Maksudnya, pemberian itu dilakukan dengan suka rela serta jumlahnya disepakati
oleh keduanya. Mahar diberikan bukan sebagai ganti rugi ataupun pembelian
melainkan kewajiban yang harus dilakukan oleh suami berkaitan dengan
penghormatannya kepada isteri. Jika setelah isteri menerima mahar dengan tanpa
paksaan dan tipu muslihat, lalu isterinya ingin memberikan sebagian atau
seluruh mahar itu diberikan kepada suami, maka tidak ada kesalahan bila suami
menerimanya. Intinya, mahar itu adalah hak mutlak isteri sehingga pengaturannya
pun tergantung isteri tersebut. Tidak diperkenankan bagi isteri untuk mengambil
sebagian atau keseluruhan dari mahar tersebut.
b. Jenis Mahar
Adapun mahar bisa berupa barang ataupun jasa. Ini bisa dilihat dari nash-nash
berikut ini:
1-عن ابي النعمان الأزدي
قال:" زَوَّجَ رسول الله
صلعم إمراة على سورةٍٍ
من القران ثم قال
:لايكون لأحد بعدَكِ مهرا"(رواه سعيد في
سننه وهومرسل)
Dari Abi Nu’man al-Azidi, dia berkata bahwa rasulullah SAW menikahi seorang
perempuan dengan mahar berupa surat dari al-qur’an. Kemudian dia berkata:
_______________ (H.R Said dalam kitabnya, dan status hadits ini adalah mursal)
c. Macam-macam Mahar
Mahar dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Mahar Musamma
2. mahar Mitsil
Mahar Musamma
Mahar Musamma adalah mahar yang disebutkan bentuk, wujud, atau nilainya secara
jelas dalam redaksi akad.
Ini adalah mahar umum yang berlaku dalam suatu perkawinan. Mahar ini terbagi
menjadi: Pertama, mahar mu’ajjal, yaitu mahar yang segera diberikan kepada
isterinya. Kedua, mahar muajjal, yaitu mahar yang ditangguhkan pemberiannya
kepada isteri.
Mahar Mitsil
Mahar Mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan bentuk, wujud, atau nilainya
secara jelas dalam redaksi akad.
Dalam hal ini, mahar mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan:
Pertama, dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau
jumlahnya.
Kedua, suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi
syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah
minuman keras.
Ketiga, suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri
berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat diselesaikan.
d. Kadar Mahar
Dalam hal membicarakan tentang kadar mahar, tidak ada nash dari al-Qur’an
ataupun Hadits yang menjelaskan secara detail dan rinci tentang batasan minimal
dan maksimal mahar yang harus diberikan. Beberapa literatur hadits hanya
menjelaskan tentang diharuskannya pemberian mahar. Adapun hadits yang secara
implisit menyatakan kriteria mahar yang paling afdhol yang sesuai dengan
kemampuan suami dan tidak menyusahkannya.
وعن عائشة:"ان رسول الله
صلعم قال:اِنّ اعظَمَ
النكاحِ بَرَكةًايسرُه مُؤنةً"(رواه احمد,اخرجه
ايضاالطبران
في الاوسط بلفظ:"اخف
النساءصداقااعظمهن بركة)"وفي اسناده الحرث
بن شبل وهوضعيف
-وعن ابي العجفاءقال :"سمعت
عمريقول:لاتُغلُوا صُدُقَ النساءفإنهالوكانت مُكرمةٌفي
الدنيا أوتقوى في الاخرة
كان اَوْلاكم بهاالنبي صلعم,مااصدَقَ رسول
الله امرأةً من نسائِه
ولااَصْدَقَتْ امرأةً من بناتِه
اكثَرَمن ثِنْتَي عشرةاَوْقِيَةً"(رواه الخمسةوصححه
الترمذي وابن حبان الحاكم)،وابوالعجفاءاسمه هرمز بن نسيب،قال
يحيى بن معين :بصري
ثقة.وقال البخاري:في
حديثه نظر.وقال ابواحمدالكرابيسي:حديثه ليس بالقائم.
e. Syarat-syarat Mahar
Mahar yang diberikan kepada isteri harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga,
walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila
mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah
2. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar,
babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga
3. Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang
lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat
untuk mnengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab
tidak sah, tetapi akadnya tetap sah
4. Bukan barang yang tidak jelas keadaanya. Tidak sah mahar dengan memberikan
barang yang tidak jelas keadaanya, atau tidak disebutkan jenisnya.
f. Kedudukan Mahar
Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan mahar dalam pernikahan. Apakah mahar
itu menjadi syarat atau rukun sehingga tidak bisa ditentukan secara jelas
akibat hukumnya. Para ulama tidak memasukkan mahar ini sebagai rukun melainkan
hanya syarat saja, kecuali Maliki. Sehingga, jika mahar ini tidak diberikan
pada waktu akad, maka pernikahan tetap sah, akan tetapi harus dipenuhi hutang
mahar tersebut.
g. Pergaulan Suami Isteri sebelum Penyerahan Mahar
Setelah melakukan akad nikah, seorang suami halal menggauli isterinya. Akan
tetapi suami berkewajiban membayar mahar kepada isterinya terlebih dahulu, baik
membayarnya secarai tunai ataupun separuh-separuh.
Para ulama madzhab sepakat bahwa isteri memiliki hak terhadap suami yaitu
menuntut seluruh mahar yang harus dibayar oleh suami karena telah terjadi akad.
Isteri juga berhak menolak untuk memberikan hak suami untuk berhubungan badan
ketika mahar itu belum diberikan dan isteri tidak dihukumi nusyuz serta masih
berhak mendapatkan nafkah sebagai haknya. Akan tetapi jika isteri rela digauli
suami sebelum penyerahan mahar, maka ia tidak menolak suami untuk selanjutnya.
Ini menurut kesepakatan seluruh imam madzhab kecuali Abu Hanifah.
h. Pembayaran mahar secara kontan dan hutang
Para ulama sepakat bahwa mahar boleh dibayar kontan maupun hutang(muajjal).
Dalam hal ini, terjadi perbedaan di antara imam madzhab:
Imamiyah dan Hambali mengatakan bahwa, jika mahar disebutkan tanpa menyebutkan
kontan atau dihutang, maka mahar harus dibayar secar kontan.
Hanafi mengatakan, pembayaran mahar tergantung pada adat yang berlaku di
masyarakat tersebut dengan keterangan bahwa harus ada kejelasan waktu jika
mahar tersebut dihutang. Jika tidak ada kejelasan tersebut, maka mahar harus
dibayar kontan. Keterangan pembayaran ini sesuai dengan pendapat Syafi’i.
Maliki mengatakan, mahar yang dibayar dengan dihutang pernikahannya adalah
fasid jika belum terjadi percampuran. Adapun jika sudah terjadi percampuran,
maka harus membayar mahar mitsil.
i. Perselisihan Suami isteri tentang Mahar
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa apabila perselisihan terjadi sebelum keduanya
melakukan hubungan badan, maka keduanya bersumpah dan dibatalkan perkawinannya.
Bila perselisihan terjadi setelah keduanya melakukan hubungan badan, maka
ucapan suami yang dibenarkan
Ulama Syafi’iyyah, Ats-Tsauri serta jamaah lainnya berpendapat bila keduanya
berselisih, keduanya bersumpah dan kembali pada mahar mitsil sedangkan nikahnya
tidak difasakh. Ada juga yang mengatakan ucapan suami dibenarkan namun mahar
dikembalikan kepada mahar mitsil
Apabila suami isteri bertengakar mengenai adanya mahar musamma, Imamiyyah dan
Hanafi mengatakan: yang mengatakan adanya penyebutan mahar harus bisa
membuktikan dan pihak yang membantah bersumpah. Menurut syafi’i, keduanya
adalah dalam keadaan saling tuduh menuduh dan yang mempunyai bukti yang bisa
dilaksanakan tuntutannya. Bila keduanya sama-sama mempunyai bukti atau tidak
mempunyai maka keduanya diminta bersumpah kemudian ditetapkan mahar mitsil bagi
isteri.
Apabila suami isteri saling sepakat tentang penyebutan mahar tapi berselisih
dalam hal jenis dan jumlahnya maka menurut Hanafi dan Hanbali, orang yang
mengemukakan jumlah yang sesuai dengan mahar mitsillah yang dapat dipegang
pendapatnya. Sedangkan menurut syafi’i apabila keduanya saling tuduh dan
sama-sama tidak memiliki bukti maka keduanya diminta untuk bersumpah dan
kemudian ditetapkan mahar mitsil.
Apabila yang diperselisihkan adalah soal sudah atau belum diterimanya mahar,
misalnya isteri mengatakan belum menerima sedangkan suami berkata isterinya
sudah menerima mahar tersebut, Maka Imamiyah, syafi’i, dan Hanbali berpendapat
bahwa isteri yang diterima pernyataannya dengan alasan isteri merupakan pihak
yang membantah sedang suami pihak penuduh, maka suami harus membuktikan apa
yang sudah diucapkannya.
j. Gugurnya Mahar
Mahar dapat gugur seluruhnya apabila terjadi perceraian sebelum mereka campur,
dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Apabila perceraian itu terjadi dengan jalan fasakh dari pihak isteri, karena
wanita itu sendiri melakukan pekerjaan maksiat seperti murtad
2. Apabila isteri menghibahkan mahar tersebut kepada suaminya atau membebaskan
mahar tersebut sebelum didukhul
k. Hikmah diwajibkannya Mahar
Mahar merupakan pemberian pertama seorang suami kepada isterinya yang dilakukan
pada waktu akad. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul
kewajiban materiil yang harus dilakukan suami pada masa perkawinan. Dengan
pemberian mahar itulah suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi
kewajiban materiil berikutnya. Hal ini juga sebagai penghormatan dari seorang
suami kepada isterinya, untuk menjalin kasih di antara keduanya, dll.
Kesimpulan
Dari kandungan hadist diatas bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kewajiban memberi mahar bagi seorang suami kepada istri sebagai tanda atau
lambang kesanggupan suami untuk membiayai isteri dan sebagi penghormatan serta
penghalalan kepada istri sekaligus tanda tanggung jawab seorang lelaki
2. Bentuk mahar menurut hadits bisa berupa materi walaupun hanya berupa cincin
dari besi. Adapun hadits lain ada yang menyatakan bahwa mahar juga bisa berbentuk
jasa. Akan tetapi lebih baik berbentuk materi
3. Mahar merupakan kewajiban suami dan hak isteri
a. Mahar Musamma
Kata musamma berasal dari bahasa
Arab yang artinya sesuatu yang disebutkan. Mahar dinamakan mahar musamma
apabila mahar tersebut disebutkan atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika
akad nikah.
Terdapat beberapa ketentuan mengenai
pelaksanaan mahar musamma. Ketentuan yang dimaksud mengenai kapan mahar musamma
wajib diserahkkan selurhnya dan kapan ia diserahkan setengahnya.
Mahar
musamma wajib diserahkan seluruhnya apabila telah terjadi dukhul. Hal ini telah
menjadi kesepakatan ulama juga ditunjukan oleh nash Al-quran dalam surah
An-nisa ayat empat. Ketentuan penyerahan mahar musamma seluruhnya setelah
terjadinya dukhul tetap berlaku meskipun nikahnya rusak dengan sebab
tertentu. Di dalam KHI pasal 35 butir 1
disebutkan bahwa mahar musamma juga wajib diserahkan seluruhnya apabila suami
meninggal dunia sebelum dukhul.
Mahar musamma diserahkan setengahnya apabila
terjadi perceraian sebelm dukhul. Ketentuan in berdasarkan firman Allah di
surah Al-baqarah ayat 237.
b. Mahar Mitsli
Mitsli berarti yang serupa atau sepadan. Mahar
mitsli adalah sebutan bagi mahar yang tidak disebutkan kadar dan jumlahnya
ketika akad nikah. Disebut mahar mitsli atau sepadan karena jumlah mahar
tersebut disepadankan dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat.
Selain dalam keadaan seperti disebutkan di atas
(jika mahar tidak disebutkan ketika akad), mahar mitsli juga diberikan jika
mahar musamma belum dibayar dan suami telah bercampur dengan istrinya padahal
nikahnya tidak sah. Pembayaran mahar mitsli menjadi wajib bila kadarnya telah
ditetaplan oleh hakim, atau menurut kesepakatan suami istri.
Nikah fawaid yakni nikah yang tidak disebutkan
dan tidak ditetapkan maharnya boleh saja
menurut jumhur ulama. Kebolehannya ditunjkan oleh firman Allah ta’ala di surah
Al-baqarah ayat 236 ;
لَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا
لَهُنَّ فَرِيضَةً
Kalian tidak mendapatkan dosa jika kalian menceraikan istri-istri kalian
yang belum kalian sentuh atau belum kalian tetapkan mahar bagi mereka. (QS. Al-baqarah
: 236).
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 34 butir 2 dikatakan “kelalaian menyebut jenis dan
jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak
menyebabkan batalnya perkawinan.”. Pasal ini adalah dasar hukum positif di
Indonesia bagi kebolehan mahar mitsli.
Persyaratan Mahar
Abdurrahman Al-jaziri menetapak beberapa
persyaratan pada mahar. Syarat-syarat itu antara lain ; 1). Barang yang menjadi
mahar itu haruslah sesuatu yang memiliki nilai dan berharga, 2) suci dan bisa
dimanfaatkan, 3) bukan barang hasil ghasab yakni barang orang lain yang
diambil tanpa seizinnya namun bukan untuk dicuri tapi dengan niat akan dikembalikan
lagi dan 4) mahar tersebut bukan barang yang tidak jelas keadaannya.
Syarat-syarat yang dikemukakan oleh Al-jaziri
di atas hanya menjelaskan persyaratan bagi mahar yang berupa benda padahal
telah disebutkan dalam defenisi mahar bahwa
jasa juga bisa dijadikan mahar. Menurut kami persyaratan utama bagi
mahar adalah sesuatu yang bermanfaat bagi istri baik itu barang maupun jasa.
Ukuran kemanfaatan tidak bisa ditetapakan karena hal itu bersifat relative
tergantung pada keadaan sang istri, jika dia tidak bisa
membaca Al-quran misalnya, maka yang paling bermanfaat adalah mengajarkannya
membaca Al-quran. Namun jika ia mampu membaca Al-quran dengan baik lalu pihak
suami mengajukan mahar mengajarkann ya membaca Al-quran, maka mahar semacam ini
tidak ada manfaatnya.